Memberikan legal opinion atau pendapat hukum merupakan salah satu peran advokat di dunia hukum. Menurut Black’s Law Dictionary, legal opinion adalah “A written document in which an attorney provides his or her understanding of the law as applied to assumed facts.” Yang berarti legal opinion adalah suatu dokumen tertulis di mana seorang pengacara memberikan pemahaman hukumnya yang diterapkan pada fakta yang diasumsikan.

 

Legal opinion diberikan oleh seorang advokat kepada kliennya dengan tujuan untuk memberikan pendapat hukum atas suatu persoalan hukum yang sedang dihadapi oleh klien agar klien dapat membuat keputusan atau mengambil tindakan yang tepat berdasarkan legal opinion yang diberikan. Klien tidak harus membuat keputusan atau melakukan sebagaimana disarankan advokat dalam legal opinionnya, namun tujuan klien meminta advokat untuk membuat legal opinion itu adalah dengan maksud untuk bergantung kepada legal opinion tersebut. Maka akan menimbulkan kerugian bagi klien apabila advokat salah menginterpretasi hukum dan salah memberikan saran kepada klien.

 

Seorang advokat harus bertanggung jawab atas kesalahannya dalam memberikan legal opinion kepada klien yang menimbulkan kerugian. Sebenarnya terdapat imunitas bagi advokat dalam menjalankan tugasnya yang dimuat dalam Pasal 16 Undang-Undang No. 18 Tahun 2003 tentang Advokat, yaitu: “Advokat tidak dapat dituntut baik secara perdata maupun pidana dalam menjalankan tugas profesinya dengan iktikad baik untuk kepentingan pembelaan Klien dalam sidang pengadilan.” Namun Pasal UU Advokat tersebut hanya memberikan imunitas kepada advokat dalam pengadilan saja.

 

Menurut Dr. Fajar Sugianto, SH, MH, MbiAm dalam Workshop PPHBI berjudul “Pembuatan Legal Opini yang Komprehensif” pada tanggal 15 Februari 2019, dalam membuat legal opinion, advokat memiliki tanggung jawab obligations de moyens: obligations to put forth his best effort in performing the tasks (kewajiban untuk melakukan upaya terbaiknya dalam melakukan tugas). Apabila seorang advokat memberikan legal opinion yang salah, maka ia dapat dianggap telah mengabaikan atau menelantarkan kepentingan kliennya, sebagaimana diatur dalam Pasal 6(a) UU Advokat. Ia juga dapat digugat secara perdata berdasarkan Pasal 1365 dan 1366 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata yang masing-masing berbunyi sebagai berikut:

 

1365: “Tiap perbuatan melawan hukum, yang membawa kerugian kepada orang lain, mewajibkan orang yang karena salahnya menerbitkan kerugian itu, menggantikan kerugian tersebut.”

 

1366: “Setiap orang bertanggung jawab, bukan hanya atas kerugian yang disebabkan perbuatan-perbuatan, melainkan juga atas kerugian yang disebabkan kelalaian atau kesembronoannya.”

 

 

Perlu dipahami bahwa pertanggungjawaban advokat dalam pembuatan legal opini hanya terhadap substansi atau muatan dari legal opininya, dan bukan pada masalah administrasinya. Misalnya, ada klien asing yang meminta legal opinion tentang pendirian perusahaan Penanaman Modal Asing di Indonesia. Advokat yang membuat legal opinion tersebut hanya berkewajiban memberikan pendapat dan sarannya yang benar secara logika hukum, tetapi ia tidak bertanggungjawab atas apakah pada akhirnya perusahaan tersebut dapat didirikan atau tidak. Ini karena pengambil keputusan tetap merupakan klien dan bukan advokat yang memberikan legal opinion. Advokat baru dapat disalahkan apabila terdapat kesalahan dalam menafsirkan hukum atau terdapat kesesatan logika dalam legal opinionnya yang krusial yang menyebabkan tidak dapat didirikannya perusahaan tersebut dan menimbulkan kerugian bagi klien.

 

Maka seorang advokat harus dapat membatasi lingkup pertanggungjawabannya. Alat yang dapat digunakan adalah dengan menggunakan asumsi dan kualifikasi.

 

Asumsi digunakan dalam legal opinion untuk menghindari terjadinya salah penafsiran dan analisa terkait materi legal opinion. Menurut pembicara lain dalam workshop PPHBI yang sama, Jecky Tengens, SH, MSc, keakuratan suatu legal opinion tergantung pada jujur atau tidaknya klien memberikan informasi, keterangan atau data-data yang diperlukan sebagai bahan dalam pembuatan legal opinion karena advokat tidak dapat memastikan apakah keterangan dan informasi, serta dokumen yang diberikan oleh klien dan pihak-pihak yang terkait adalah benar dan sesuai dengan faktanya. Sehingga dalam legal opinionnya, advokat dapat mencatumkan bahwa legal opinion tersebut dibuat dengan asumsi bahwa informasi yang diberikan oleh klien ialah benar sesuai dengan fakta yang ada, bahwa tidak ada dokumen lain di luar dokumen yang telah dianalisa yang dapat mempengaruhi isi legal opinion, dan bahwa analisa legal opinion dilakukan berdasarkan hukum yang berlaku di Indonesia.

 

Sedangkan kualifikasi merupakan pembatasan, yaitu sejauh mana legal opinion ditafsirkan. Legal opinion dibatasi hanya melihat dari aspek hukum, dan bukan dari aspek bisnis ataupun aspek lain, dan tidak mengikat bagi klien untuk mengikuti saran dari advokat yang tertuang dalam legal opinion.