Dalam Legal Short Course PPHBI yang diselenggarakan pada tanggal 25 Januari 2019 dengan tema “Permasalahan dan Solusi Hukum atas Sarusun”, salah satu topik yang paling sering disebut oleh para pembicara adalah mengenai Peraturan Menteri (Permen) Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat (PUPR) No. 23/PRT/M/2018 tentang Perhimpunan Pemilik dan Penghuni Satuan Rumah Susun (PPPSRS). Pembahasan mengenai Permen ini sangat relevan karena sedang diajukan gugatan Judicial Review terhadapnya ke Mahkamah Agung oleh Yusril Ihza Mahendra sebagai kuasa hukum Real Estate Indonesia (REI) dan Persatuan Perhimpunan Penghuni Rumah Susun Indonesia (P3RSI).

 

Pasal-pasal yang dimuat dalam Permen PUPR No. 23 Tahun 2018 yang dianggap janggal di antaranya adalah Pasal 15 ayat (3) dan Pasal 19 ayat (3).

 

Pasal 15 pada dasarnya mengatur bahwa dalam musyawarah PPPSRS, pemilik hanya dapat diwakilkan berdasarkan surat kuasa kepada perseorangan yang sebagaimana telah ditentukan dalam ayat (3). Perseorangan tersebut mencakup:

  1. Istri atau suami;
  2. Orang tua kandung perempuan atau laki-laki;
  3. Salah satu saudara kandung;
  4. Salah satu anak yang telah dewasa dari Pemilik; atau
  5. Salah satu anggota pengurus badan hukum yang tercantum dalam akta pendirian apabila Pemilik merupakan badan hukum.

 

Pembatasan kuasa dalam Pasal 15 ayat 3 ini membatasi hak seseorang maupun badan hukum dalam pengambilan suara. Pasal ini bertentangan dengan KUH Perdata maupun Undang-Undang No. 40 Tahun 2007 tentang Perseroang Terbatas (UU PT). Pasal 103 UU PT mengatur bahwa Direksi dapat memberi kuasa tertulis kepada 1 (satu) orang karyawan Perseroan atau lebih atau kepada orang lain untuk dan atas nama Perseroan melakukan perbuatan hukum tertentu sebagaimana yang diuraikan dalam surat kuasa. Maka, apabila pemilik Sarusun adalah badan hukum dan ia hanya dapat diwakilkan oleh anggota pengurusnya, itu membatasi haknya yang ditentukan dalam Pasal 103 UU PT.

 

Terdapat juga ketentuan lain dalam Permen PUPR No. 23 Tahun 2018 yang membatasi hak, yaitu dalam Lampiran II. Di sana terdapat Anggaran Dasar PPPSRS. Dalam ketentuan mengenai persyaratan yang dapat dipilih menjadi pengurus dan pengawas, ditentukan bahwa Pemilik tidak boleh dalam status sebagai anggota pengurus atau pengawas di Rumah Susun lain. Padahal apabila seseorang memiliki Sarusun di dua Rumah Susun yang berbeda, seharusnya dia memiliki hak yang sama untuk menjadi pengurus PPPSRS di kedua tempat tersebut, karena kepentingannya sebagai Pemilik di kedua Rumah Susun itu pun sama.

 

Demikian pula dengan Pasal lain dalam Permen PUPR No. 23 Tahun 2018 yang dianggap janggal, yaitu Pasal 19 ayat (3). Pasal tersebut menentukan bahwa Pemilik atau wakil Pemilik hanya memiliki satu suara walaupun memiliki lebih dari satu Sarusun. Atau dapat disebut juga dengan aturan “One name, one vote”. Berarti seseorang yang memiliki satu sarusun, sama besar suaranya dengan Pemilik lain yang memiliki, misalnya, tiga sarusun. Ketentuan ini membuat Nilai Perbandingan Proporsional (NPP) dalam kepemilikan Sarusun menjadi tidak relevan. Padahal apabila seseorang memiliki bagian lebih besar pada suatu properti, jelas kepentingannya di sana pun lebih besar. Maka seharusnya kekuatan suaranya pun lebih besar, karena apapun keputusan yang diambil oleh PPPSRS memiliki pengaruh yang lebih besar juga kepadanya.