Kesepakatan merupakan hal umum yang kerap dilakukan oleh masyarakat saat ini yang kemudian dituangkan dalam bentuk perjanjian. Dalam praktiknya, terdapat berbagai jenis perjanjian yang dibuat oleh para pihak, namun pada tulisan ini akan membahas terkait perjanjian pinjam-meminjam dan perjanjian penitipan.

Sebelum lebih lanjut mengetahui perbedaan antara dua jenis perjanjian tersebut, baiknya terlebih dahulu kita mengetahui definisi dari pinjam-meminjam dan penitipan bersadarkan peraturan yang berlaku.

Pinjam-meminjam didefiniskan di dalam Pasal 1754 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (KUHPer), yang tertulis sebagai berikut:

“Pinjam meminjam ialah perjanjian dengan mana pihak yang satu memberikan kepada pihak yang lain suatu jumlah tertentu barang-barang yang menghabis karena pemakaian, dengan syarat bahwa pihak yang belakangan ini akan mengembalikan sejumlah yang sama dari macam dan keadaan yang sama pula”

Sedangkan definisi penitipan  yang sebagaimana diatur di dalam pasal 1694 KUHPer, ialah:

“Penitipan adalah terjadi, apabila seorang menerima sesuatu barang dari seorang lain, dengan syarat bahwa ia akan menyimpannya dan mengembailkannya dalam wujud asalnya”

Berdasarkan definisi di atas, dapat dikatakan bahwa kedua hal tersebut tidak memiliki perbedaan yang signifikan, tetapi sebagai pelaku usaha yang akan mengadakan perjanjian tersebut harus mencermati konstruksi hukum  apa yang terjadi dalam hubungan hukum yang disebabkan oleh kedua perjanjian tersebut.

Dalam hal perbedaannya, terdapat pada permasalahan yang timbul ialah menyangkut kepemilikan, apabila perjanjian yang diadakan ialah perjanjian penitipan maka kepemilikan dari barang yang diperjanjikan tidak berpindah sehingga penerima titipan tidak dapat memindah tangankan barang tersebut tanpa sepengetahuan pemilik barang.

Selain itu perjanjian penitipan juga memiliki ketentuan yang menyatakan bahwa barang yang dititipkan dapat sewaktu-waktu diminta oleh pemilik barang. Hal ini tertulis dalam 1725 KUHPer, yang menyatakan:

“Barang yang dititipkan harus dikembalikan kepada orang yang dititipkan, seketika apabila dimintanya, sekalipun dalam perjanjiannya telah ditetapkan suatu waktu lain untuk pengembaliannya, kecuali apabila telah dilakukan suatu penyitaan atas barang-barang yang berada di tangan si penerima titipan”

Oleh karena itu jika barang yang dititipkan tidak dikembalikan seketika setelah diminta maka dapat dituduhkan ancaman pidana kepada penerima titipan. Ancaman tersebut dapat merupakan ancaman pidana penggelapan yang sesuai dengan pasal 372 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP), yang menegaskan:

 “Barangsiapa dengan sengaja memiliki dengan melawan hak sesuatu barang yang sama sekali atau sebagiannya termasuk kepunyaan orang lain dan barang itu ada di dalam tangannya bukan karena kejahatan, dihukum karena penggelapan, dengan hukuman penjara selama-lamanya empat tahun atau denda sebanyak-banyaknya Rp. 900,-“

Lain hal dengan pinjam-meminjam, perjanjian pinjam-meminjam merupakan sebuah perjanjian hutang-piutang yang merupakan ranah perdata, sehingga tidak dapat ditarik kedalam ranah pidana. Perjanjian pinjam-meminjam biasannya memiliki batas pengembalian yang telah disepakati oleh para pihak dalam perjanjian pinjam-meminjam. Sehingga nantinya peminjam tidak dapat menagih/meminta sebelum batas pembayaran yang telah disepakati.

Dalam hal telah melewati batas pembayaran dan penerima pinjaman tidak dapat mengembalikan  barang yang diperjanjikan dalam perjanjian pinjam-meminjam maka penerima pinjaman dapat digugat secara perdata dikarenakan wanprestasi atas kesepakatan yang telah disepakati. Hal terkait wanprestasi sendiri telah diatur di dalam Pasal 1243 KUHper, yang menyatakan:

Penggantian biaya, rugi, dan bunga karena tak dipenuhinya suatu perikatan, barulah mulai diwajibkan, apabila si berutang, setelah dinyatakan lalai memenuhi perikatannya, tetap melalaikannya atau jika sesuatu yang harus diberikan atau dibuatnya, hanya dapat diberikan atau dibuat dalam tenggang waktu yang telah dilampaukannya.”

Berdasarkan penjelasan di atas, maka dapat ditarik kesimpulan yang dapat digambarkan dengan ilustrasi sebagai berikut :

Misalnya, pada tanggal 20 Januari si A memberikan uang kepada si B sebesar Rp. 20.000.000,00 (Dua puluh juta rupiah). Kemudian, para pihak sepakat untuk membuat suatu perjanjian.

Jika para pihak membuat perjanjian pinjam-meminjam atas uang tunai tersebut, maka B dapat menggunakan dan/atau menghabiskannya, tetapi B harus mengembalikan uang tersebut sesuai dengan jumlah awal yaitu Rp. 20.000.000,00 (Dua puluh juta rupiah) pada tanggal 20 (Dua puluh) Febuari terhitung 30 (Tiga puluh) hari kalender sejak perjanjian disepakati. Dalam hal perjanjian pinjam-meminjam, si A tidak dapat meminta atau menagih uang tersebut sebelum tanggal yang telah disepakati di dalam perjanjian.

Jika yang dibuat ialah perjanjian penitipan, tidak terdapat batas waktu dimana uang tersebut harus dikembalikan oleh B, tetapi B juga tidak dapat menggunakan uang tersebut tanpa sepengetahuan A. Selain itu, A memiliki wewenang untuk dengan bebas meminta kembali uang tersebut kapanpun A menginginkan. Sehingga saat uang tersebut diminta kembali oleh si A, maka B harus mengembalikan uang tersebut seketika saat uang tersebut diminta.