Pada saat ini banyak lembaga pembiayaan dan bank yang menyelenggarakan pembiayaan bagi masyarakat Indonesia. Namun dalam pelaksanaannya, Debitur sering lalai dalam melaksanakan kewajibannya. Untuk mengatasi hal tersebut, lembaga pembiayaan dan bank sering kali menggunakan jasa penagih utang atau debt collector. Penggunaan jasa debt collector  dalam proses penagihan sering kali menibulkan keresahan pada debitur. Tidak hanya pada Debitur, keberadaan debt colector  juga membuat masyarakat terganggu. Hingga akhirnya Mahkamah Konstitusi mengeluarkan Putusan nomor 18/PUU-XVII/2019, dimana Putusan tersebut berisi mekanisme eksekusi obyek jaminan fidusia yang sebelumnya kreditur dapat mengesekusi secara mandiri jaminan fidusia, lalu diubah ketentuannya menjadi bahwa jaminan fidusia hanya dapat dieksekusi jika kreditur mengajukan permohonan kepada pengadilan negeri untuk melakukan pengeksekusian jaminan fidusia.

Dalam pelaksanaannya, penggunaan Jasa debt collector belum diatur secara khusus dalam peraturan perundang-undangan di Indonesia. Namun pada prinsipnya, debt collector bekerja berdasarkan kuasa yang diberikan oleh kreditur dalam proses penagihan utang kepada debitur. Pemberian kuasa yang dimaksud harus sesuai dengan ketentuan pasal 1793 ayat (1) Kitab Undang-undang Hukum Perdata (KUHPer) yang menyatakan bahwa kuasa dapat diberikan dan diterima dalam suatu, akta umum, dalam suatu tulisan bawah tangan, bahkan dalam sepucuk surat lisan.

Walaupun belum ada peraturan perundang-undangan yang secara khusus mengatur tentang pelaksaan penagihan hutang dengan jasa debt collector, tetapi jika mengacu pada Peraturan Bank Indonesia (PBI) dan Surat Edaran Bank Indonesia bahwa terdapat etika atau kewajiban yang harus dipatuhi oleh lembaga pembiayaan (Bank) dan/atau penyelenggara jasa debt collector  dalam melakukan proses penagihan yang sebagaimana diatur dalam Surat Edaran Bank Indonesia Nomor 11/10/DASP tanggal 13 April 2009 Perihal Penyelenggaraan Kegiatan Alat Pembayaran dengan Menggunakan Kartu dan perubahannya, yang berisi;

  1. Dalam melakukan penagihan, debt collector menggunakan kartu identitas resmi yang dikeluarkan penerbit kartu kredit, yang dilengkapi dengan foto diri yang bersangkutan;
  2. Penagihan dilarang dengan menggunakan cara ancaman, kekerasan dan/atau tindakan yang bersifat mempermalukan pemegang kartu kredit;
  3. Penagihan tidak dilakukan dengan menggunakan tekanan secara fisik maupun verbal;
  4. Penagihan dilarang dilakukan kepada pihak selain pemegang kartu kredit;
  5. Jika penagihan dilakukan menggunakan sarana komunikasi, dilarang dilakukan secara terus menerus yang bersifat mengganggu;
  6. Penagihan hanya dapat dilakukan di tempat alamat penagihan atau domisili pemegang kartu kredit;
  7. Penagihan hanya dapat dilakukan pada pukul 08.00 sampai dengan pukul 20.00 wilayah waktu alamat pemegang kartu Kredit; dan
  8. Penagihan di luar tempat dan/atau waktu tersebut di atas, hanya dapat dilakukan atas dasar persetujuan dan/atau perjanjian dengan pemegang kartu kredit terlebih dahulu.

Sebagaimana terdapat etika yang harus di taati oleh debtcollector dalam proses penagihan utang, terdapat pula hal yang perlu diperhatikan bahwa penagihan yang menggunakan jasa debt collector hanya dapat dilakukan jika kualitas tagihan telah termasuk dalam kulitas kredit macet berdasarkan kriteria koletibilitas sesuai ketentuan Bank Indonesia yang mengatur mengenai kualitas kredit. Dalam proses penagihan utang oleh jasa debt collector yang mendapat kuasa dari kreditur tidak diperbolehkan menyita paksa barang-barang milik debitur, karena pada hakikatnya penyitaan barang-barang milik debitur yang wanprestasi hanya bisa dilakukan atas dasar putusan pengadilan. Perbuatan debt collector yang menyita atau mengambil secara paksa barang-barang milik debitur, dapat dijerat dengan pasal 362 Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP);

Barang siapa mengambil barang sesuatu, yang seluruhnya atau sebagian kepunyaan orang lain, dengan maksud untuk dimiliki secara melawan hukum, diancam karena pencurian, dengan pidana penjara paling lama lima tahun atau pidana denda paling banyak sembilan ratus rupiah.”

Adapun terjadinya kekerasan atau terdapat ancaman pada saat proses penagihan oleh jasa debt collector, maka yang bersangkutan dapat di jerat dengan pasal 365 ayat (1) KUHP;

Diancam dengan pidana penjara paling lama sembilan tahun pencurian yang didahului, disertai atau diikuti dengan kekerasan atau ancaman kekerasan, terhadap orang dengan maksud untuk mempersiapkan atau mempermudah pencurian, atau dalam hal tertangkap tangan, untuk memungkinkan melarikan diri sendiri atau peserta lainnya, atau untuk tetap menguasai barang yang dicuri”

Berdasarkan penjelasan di atas, penggunaan jasa debt collector dapat digunakan oleh lembaga pembiayaan, tetapi tetap mengikuti aturan SEBI dan PBI yang berlaku dan tidak menlanggar peraturan perundang-undangan yang berlaku di Indonesia.