Seiring dengan meningkatnya populasi Indonesia yang dibarengi dengan persediaan lahan yang semakin sedikit, semakin banyak pembangunan tempat tinggal yang beralih dari rumah biasa ke rumah susun. Rumah susun menjadi salah satu solusi surplus demand tempat tinggal dengan menyusun rumah secara vertikal. Karena banyak juga peminat rumah susun, harganya pun pada umumnya cukup tinggi. Pada umumnya pembelian rumah susun tidak dilakukan dalam sekali pembayaran tunai. Biasanya pembayaran rumah susun dilakukan dengan cash bertahap atau dengan mengajukan kredit ke lembaga pembiayaan, baik Bank maupun non-Bank.

Pembelian rumah susun merupakan jual beli sebagaimana diatur dalam Pasal 1457 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (KUH Perdata), yaitu:

“Jual-beli adalah suatu persetujuan dengan mana pihak yang satu mengikatkan dirinya untuk menyerahkan suatu kebendaan, dan pihak yang lain untuk membayar harga yang telah dijanjikan.”

Namun berbeda dengan transaksi jual beli pada umumnya, pembelian rumah susun biasanya dapat dilakukan sebelum rumah susun itu selesai dibangun, bahkan belum mulai dibangun sama sekali. Karenanya, pembelian unit rumah susun biasanya tidak dilakukan langsung dengan suatu Akta Jual Beli (AJB), melainkan didahului dengan suatu perjanjian pendahuluan. Mengenai hal ini sudah diatur dalam Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Rumah Susun (UU Rumah Susun) sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja, yang menyatakan bahwa proses jual beli unit rumah susun sebelum pembangunan rumah susun selesai dapat dilakukan melalui Perjanjian Pengikatan Jual Beli (PPJB). (Pasal 43 ayat (1) UU Rumah Susun).

Peraturan Pemerintah Nomor 14 Tahun 2016 tentang Penyelenggaraan Perumahan dan Kawasan Permukiman sebagaimana telah diubah dengan Peraturan Pemerintah Nomor 12 Tahun 2021 (PP 12/2021) kemudian lebih lanjut mengatur tentang adanya suatu Sistem PPJB dalam Pasal 1 Angka 10, yaitu:

“Sistem Perjanjian Pendahuluan Jual Beli yang selanjutnya disebut Sistem PPJB adalah rangkaian proses kesepakatan antara Setiap Orang dengan pelaku pembangunan dalam kegiatan pemasaran yang dituangkan dalam perjanjian pendahuluan jual beli atau Perjanjian Pengikatan Jual Beli sebelum ditandatangani akta jual beli.”

Sistem PPJB ini terdiri atas tahap Pemasaran dan tahap PPJB. Tahap Pemasaran yang dimaksud yaitu “kegiatan yang direncanakan pelaku pembangunan untuk memperkenalkan, menawarkan, menentukan harga, dan menyebarluaskan informasi mengenai Rumah atau Perumahan dan satuan Rumah susun atau Rumah susun yang dilakukan oleh pelaku pembangunan pada saat sebelum atau dalam proses sebelum penandatanganan PPJB.”

Pada tahap Pemasaran biasanya dapat dilakukan pemesanan atas unit rumah susun dan pelaku pembangunan atau developer dapat mulai menerima pembayaran dari pembeli, baik berupa Booking Fee, uang muka, maupun angsuran. Namun apabila demikian, developer wajib menyampaikan kepada pembeli informasi mengenai (Pasal 22F ayat (2) PP 12/2021):

  1. Jadwal pelaksanaan pembangunan;
  2. Jadwal penandatanganan PPJB; dan
  3. Jadwal penandatanganan akta jual beli dan serah terima rumah

Apabila developer lalai dalam memenuhi jadwal-jadwal tersebut, maka pembeli dapat membatalkan pembeliannya dan developer wajib mengembalikan pembayaran yang telah diterima sepenuhnya kepada pembeli (Pasal 22H ayat (1) dan (2) PP 12/2021). Namun apabila selama tahap Pemasaran ini berjalan lancar dan tidak ada pembatalan, jika persyaratan PPJB sudah terpenuhi, maka para pihak dapat lanjut ke tahap berikutnya dan menandatangani PPJB. PPJB sendiri menurut Pasal 1 Angka 11 PP 12/2021 ialah:

“Perjanjian Pendahuluan Jual Beli atau Perjanjian Pengikatan Jual Beli yang selanjutnya disebut PPJB adalah kesepakatan antara pelaku pembangunan dan setiap orang untuk melakukan jual beli Rumah atau satuan Rumah susun yang dapat dilakukan oleh pelaku pembangunan sebelum pembangunan untuk Rumah susun atau dalam proses pembangunan untuk Rumah tunggal dan Rumah deret yang dibuat di hadapan notaris.”

PPJB baru dapat dilakukan apabila developer telah memenuhi syarat sebagaimana tercantum dalam Pasal 22I ayat (1) PP 12/2021, yaitu:

  1. status kepemilikan tanah;
  2. hal yang diperjanjikan;
  3. PBG;
  4. ketersediaan Prasarana, Sarana, dan Utilitas Umuml dan
  5. keterbangunan paling sedikit 20%.

Kemudian setelah pembangunan rumah susun selesai dilaksanakan, maka dilakukan penandatanganan AJB. Pembangunan rumah susun ini dinyatakan selesai apabila telah diterbitkan Sertifikat Laik Fungsi dan Sertifikat Hak Milik Satuan Rumah Susun (SHM SRS) atau SKBG Sarusun (Pasal 44 UU Rumah Susun). AJB dibuat di hadapan notaris PPAT untuk SHM SRS, dan di hadapan notaris untuk SKBG Sarusun, sebagai bukti peralihan hak.