Dalam dunia perbankan masuk tidaknya kasus kredit macet sebagai tindak pidana korupsi masih menjadi perdebatan di antara para pakar hukum. Adapun kerugian yang dialami oleh bank tersebut seringkali dikaitkan dengan kerugian negara sebagaimana dimaksud dalam UU Nomor 31 Tahun 1999 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. Untuk itu perlu dipahami dahulu definisi kerugian negara sebagaimana dimaksud dalam beberapa perundang-undangan yang berlaku, yaitu :

a. Pasal 1 angka 15 UU Nomor 15 Tahun 2006 Tentang Pemeriksaan Keuangan
“kerugian negara/daerah adalah kerugian uang, surat berharga, dan barang, yang nyata dan pasti jumlahnya sebagai akibat perbuatan melawan hukum baik sengaja maupun lalai”
b. Pasal 1 angka 22 UU Nomor 1 Tahun 2004 Tentang Perbendaharaan Negara
“Kerugian Negara/Daerah adalah kekurangan uang, surat berharga, dan barang, yang nyata dan pasti jumlahnya sebagai akibat perbuatan melawan hukum baik sengaja maupun lalai”
c. Penjelasan Pasal 32 ayat (1) UU Nomor 31 Tahun 1999 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi
“Yang dimaksud dengan “secara nyata telah ada kerugian keuangan negara” adalah kerugian yang sudah dapat dihitung jumlahnya berdasarkan hasil temuan instansi yang berwenang atau akuntan publik yang ditunjuk.”

Sebagaimana kita tahu, pada umumnya peristiwa kredit macet bermula dari suatu kesepakatan perjanjian, yang mana apabila kredit macet tersebut disebabkan oleh keterlambatan pembayaran oleh debitur terhadap perjanjian, maka persitiwa kredit macet tersebut dikategorikan sebagai perbuatan wanprestasi dalam lingkup perdata, yakni sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1238 KUH Perdata :
“debitur dinyatakan lalai dengan surat perintah, atau dengan akta sejenis itu, atau berdasarkan kekuatan dari perkataan sendiri, yaitu bila perikatan ini mengakibatkan debitur harus dianggap lalai dengan lewatnya waktu yang ditentukan.”

Adapun unsur-unsur wanprestasi sebagaimana dimaksud di atas ialah seperti
1. Tidak melakukan apa yang disanggupi akan dilakukannya;
2. Melaksanakan apa yang dijanjikannya, tetapi tidak sebagaimana yang dijanjikan;
3. Melakukan apa yang dijanjikannya tetapi terlambat;
4. Melakukan sesuatu yang menurut perjanjian tidak boleh dilakukannya.

Mengacu pada penjelasan di atas, jika unsur perbuatan yang mengakibatkan kredit macet dan mengalami kerugian ialah disebabkan oleh unsur-unsur sebagaimana di atas, maka kerugian yang dialami pihak perbankan tersebut dapat dikategorikan sebagai kerugian yang disebabkan atas dasar perbuatan dalam ranah perjanjian (perdata).

Lalu bagaimana kaitannya soal dugaan korupsi pada kredit macet? Untuk menjawab hal tersebut Kami asumsikan tindakan korupsi yang dimaksud ialah sebagaimana ketentuan dalam UU Nomor 31 Tahun 1999 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana telah diubah dengan UU Nomor 20 Tahun 2001 (“UU Tipikor”) yaitu :

Pasal 2 ayat (1)
Setiap orang yang secara melawan hukum melakukan perbuatan memperkaya diri sendiri atau orang lain atau suatu korporasi yang dapat merugikan kerugian negara atau perekonomian negara, dipidana penjara dengan penjara seumur hidup atau pidana penjara paling singkat 4 (empat) tahun dan paling lama 20 (dua puluh) tahun dan denda paling sedikit Rp. 200.000.000,00 (dua ratus juta rupiah), dan paling banyak Rp. 1.000.000.000,00 (satu milyar rupiah).
Pasal 3
Setiap orang yang dengan tujuan menguntungka diri sendiri atau orang lain atau suatu korporasi, menyalahgunakan kewenangan, kesempatan atau sarana yang ada padanya karena jabatan atau kedudukan yang dapat merugikan keuangan negara atau perekonomian negara, dipidana dengan pidana penjara seumur hidup atau pidana penjara paling singkat 1 (satu) tahun dan paling lama 20 (dua puluh) tahun dan atau denda paling sedikit Rp. 50.000.000,00 (lima puluh juta rupiah) dan paling banyak Rp. 1.000.000.000,00 (satu milyar rupiah)
Sehingga untuk dapat dikatakan apakah kerugian pada kredit macet tersebut masuk dalam kategori tindak pidana korupsi atau tidak, maka haruslah dibuktikan terlebih dahulu apakah pihak yang diduga melakukan tindakan tersebut benar memenuhi ketentuan dalam Pasal 2 ayat (1) Jo.Pasal 3 UU Tipikor di atas.