Jika suatu bisnis perusahaan sedang dalam keadaan sulit, memperbaiki dan memaksimalkan kinerja perusahaan secara menyeluruh merupakan salah satu cara untuk menyelematkan perusahaan, dalam hukum perusahaan hal tersebut sering dikenal dengan sebutan restrukturisasi perusahaan. Tak hanya untuk menyelamatkan perusahaan, restrukturisasi juga sering dilakukan dalam hal pengembangan/ekspansi usaha.

Sejauh ini beberapa aksi korporasi yang diketahui sering digunakan untuk mengembangkan usaha ialah seperti merger (penggabungan), konsolidasi (peleburan), dan akuisisi (pengambilalihan), akan tetapi terdapat cara lain yang digunakan untuk merestrukturisasi tersebut yaitu dengan split off (pemisahan murni) dan spin off (pemisahan tidak murni). Lalu bagaimanakah konsep restrukturisasi tersebut?

Pasal 1 angka 2 UU PT mengatakan pemisahan adalah perbuatan hukum yang dilakukan oleh perseroan untuk memisahkan usaha yang mengakibatkan seluruh aktia dan pasiva perseroan beralih karena hukum kepada dua atau lebih atau sebagian aktiva dan pasiva perseroan beralih karena hukum kepada satu perseroan atau lebih.

Dari pengertian di atas, akhirnya kita ketahui bahwa pemisahan tersebut memiliki unsur-unsur pokok yang terdiri dari :
1. Pemisahan merupakan perbuatan hukum;
2. Yang dipisahkan adalah usaha perseroan
3. Pemisahan diakibatkan beralihnya karena hukum

Kemudian pemisahan tersebut dapat dilakukan dengan cara split off, dan spin off, sebagaimana diatur dalam Pasal 135 UU PT yang berbunyi sebagai berikut:
1. Pemisahan dapat dilakukan dengan cara :
a. Pemisahan murni; atau
b. Pemisahan tidak murni.
2. Pemisahan murni sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a mengakibatkan seluruh aktiva dan pasiva perseroan beralih karena hukum kepada 2 (dua) Perseroan lain atau lebih yang menerima peralihan dan perseroan yang melakukan pemisahan usaha tersebut berakhir karena hukum.
3. Pemisahan tidak murni sebagaimana dimkasud pada ayat (1) huruf b mengakibatkan sebagian aktiva dan pasiva perseroan beralih karena hukum kepada 1 (satu) perseroan lain atau lebih yang menerima peralihan dan perseroan yang melakukan pemisahan tersebut tetap ada.

Menulusuri lebih dalam tentang itu, dilakukannya pemisahan tersebut pada prinsipnya juga harus memenuhi syarat-syarat dalam Pasal 126 UU PT, seperti :
1. Perbuatan hukum penggabungan, peleburan, pengambillalihan atau pemisahan wajib memperhatikan kepentingan :
a. Perseroan, pemegang saham minoritas, karyawan perseroan;
b. Kreditor dan mitra usaha lainnya dari perseroan; dan
c. Masyarakat dan persaingan sehat dalam melakukan usaha.
2. Pemegang saham yang tidak setuju terhadap keputusan RUPS mengenai penggabungan, peleburan, pengambilalihan atau pemisahan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) hanya boleh menggunakan haknya sebagaimana dimaksud dalam pasal 62.
3. Pelaksanaan hak sebagaimana dimaksud pada ayat (2) tidak menghentikan proses pelaksanaan penggabungan peleburan, pengambilalihan, atau pemisahan.

Setelah memperhatikan seluruh persyaratan di atas, dengan demikian perbuatan tersebut dapat dikatakan sah apabila pemisahan tersebut dilakukan oleh keputusan RUPS, yang mana dalam keputusan RUPS tersebut harus memenuhi isi Pasal 87 ayat (1) dan Pasal 89 UU PT yang pada pokoknya:
1. Keputusan RUPS diambil berdasarkan musyawarah untuk mufakat;
2. Kuorum kehadiran RUPS untuk menyetujui pemisahan tersbeut paling sedikit ¾ (tiga perempat) bagian dari jumlah seluruh saham dengan hak suara, hadir atua diwakili dalam RUPS.
3. Keputusan sah apabila disetujui paling sedikit ¾ bagian dair jumlah suara yang dikeluarkan dalam RUPS
Dari seluruh penjelasan tersebut jika keputusan RUPS mengenai pemisahan tidak mencapai mufakat, maka dapat dimungkinkan untuk diadakannya RUPS Kedua atau ketiga untuk mencapai kesepakatan tersebut.