Dalam dunia ketenagakerjaan dan hubungan antara pengusaha dengan pekerja, tidak jarang terjadinya Pemutusan Hubungan Kerja (“PHK”). Berdasarkan Pasal 1 Angka 25 UU No. 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan (“UU Ketenagakerjaan”) sebagaimana telah diubah dengan UU No. 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja (“UU Cipta Kerja”), PHK adalah pengakhiran hubungan kerja karena suatu hal tertentu yang mengakibatkan berakhirnya hak dan kewajiban antara pekerja dan pengusaha. Adapun hal-hal tertentu yang mengakibatkan PHK itu diatur dalam Pasal 154A UU Ketenagakerjaan.

Peraturan perundang-undangan menyediakan ketentuan mekanisme dan prosedur yang layak dalam hal terjadinya PHK. Namun amanat pembuat UU sebenarnya adalah agar PHK menjadi pilihan langkah terakhir. Hal ini sebagaimana tersirat dalam Pasal 151 ayat (1) UU Ketenagakerjaan yang berbunyi: “Pengusaha, pekerja/buruh, serikat pekerja/serikat buruh, dan Pemerintah harus mengupayakan agar tidak terjadi pemutusan hubungan kerja.” Kemudian ayat (2) mengatur jika PHK memang tidak dapat dihindari, barulah PHK beserta maksud dan alasannya disampaikan kepada pekerja yang bersangkutan.

Terutama hampir 2 tahun belakangan dengan merebaknya wabah COVID-19, sebagai upaya penanggulangan penyebaran virus, banyak kebijakan pemerintah yang diberlakukan yang membatasi ruang gerak masyarakat dan pengusaha, sehingga toko-toko, restoran, dan usaha lainnya harus tutup sementara secara masif. Sebagian bahkan akhirnya harus tutup permanen karena sudah tidak mampu bertahan lagi. Salah satu pihak yang paling terdampak dalam hal ini tentunya adalah pekerja. Menurut Kementerian Ketenagakerjaan, per Maret 2021 lalu saja sudah ada 29,4 juta pekerja yang terkena dampak pandemi.

Dalam menghadapi pandemi ini, Pemerintah memahami bahwa pasti banyak perusahaan yang mengalami kerugian, namun Pemerintah juga menganjurkan agar melakukan langkah-langkah penanggulangan lain terlebih dahulu sebelum akhirnya harus melakukan PHK. Seperti dalam Surat Edaran Menteri Ketenagakerjaan Nomor M/3/HK.04/III/2020, Bagian II poin 4 menyatakan agar perusahaan yang melakukan pembatasan kegiatan usaha akibat COVID-19 dengan mempertimbangkan kelangsungan usaha, dapat melakukan perubahan besaran maupun cara pembayaran upah yang dilakukan sesuai kesepakatan antara pengusaha dan pekerja. Maksudnya agar ketika pengusaha mengalami kerugian, jangan serta merta langsung melakukan efisiensi dengan melakukan PHK, namun terlebih dahulu mencoba mengurangi kerugian perusahaan dengan mengurangi upah ataupun mengubah cara pembayarannya. Tentunya dengan atas dasar kesepakatan.

Hal yang sama juga diatur secara umum dalam Surat Edaran Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi Nomor SE-908/MEN/PHI-PPHI/X/2004 yang menyatakan sebagai berikut:

“Apabila dalam hal suatu perusahaan mengalami kesulitan yang dapat membawa pengaruh terhadap ketenagakerjaan, maka pemutusan hubungan kerja haruslah merupakan upaya terakhir, setelah dilakukan upaya sebagai berikut:

  1. Mengurangi upah dan fasilitas pekerja tingkat atas, misalnya tingkat manajer dan direktur;
  2. Mengurangi shift;
  3. Membatasi/menghapuskan kerja lembur;
  4. Mengurangi jam kerja;
  5. Mengurangi hari kerja;
  6. Meliburkan atau merumahkan pekerja/buruh secara bergilir untuk sementara waktu;
  7. Tidak atau memperpanjang kontrak bagi pekerja yang sudah habis masa kontraknya;
  8. Memberikan pensiun bagi yang sudah memenuhi syarat.”