Berbicara mengenai penyidikan dalam Pasal 1 angka 2 KUHAP dikatakan bahwa proses penyidikan merupakan serangkaian tindakan penyidik dalam hal menurut cara yang diatur dalam undang-undang ini untuk mencari serta mengumpulkan bukti yang dengan bukti itu membuat terang tentang tindak pidana yang terjadi guna menemukan tersangkanya.

Masuk dalam lingkup perkara korupsi terdapat banyak pandangan atas siapa pihak yang berhak untuk menyidik perkara korupsi, ada pandangan dan asumsi yang bertitik tolak dari materi tindak pidana korupsi, salah satunya apakah pihak kepolisian atau pihak kejaksaan? Dalam Pasal 26 UU Nomor 31 Tahun 1999 Jo. UU Nomor 20 Tahun 2001 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (UU Tipikor) mengatur bahwa penyidikan, penunututan, dan pemeriksaan di sidang pengadilan terhadap tindak pidana korupsi dilakukan berdasarkan hukum acara yang berlaku, kecuali lain dalam undang-undang ini, artinya tidak diketahui secara eksplisit lembaga mana yang memiliki wewenang untuk melakukan penyidikan dalam perkara tindak pidana korupsi.

Melihat ketentuan dalam KUHAP mengenai pengertian penyidik, mengatakan bahwa penyidik dalam hal ini adalah pejabat polisi negara Republik Indonesia atau pejabat pegawai negeri sipil tertentu yang diberi wewenang khusus oleh undang-undang untuk melakukan penyidikan, sehingga jika diasumsikan untuk sementara dapat dikatakan bahwa hal tersebut juga dapat di sidik oleh kepolisian ataupun kejaksaan, lain hal jika tindak pidana korupsi tersebut sulit pembuktiannya, maka untuk melakukan penyidikan tersebut dapat dibentuk tim gabungan di bawah koordinasi Jaksa Agung (Pasal 27 UU Tipikor), yang mana hal tersebut juga sesuai dengan tugas pokok dan fungsi kejaksaan pada Pasal 30 ayat (1) UU Nomor 16 Tahun 2004 Tentang Kejaksaan yang menyebutkan bahwa di bidang pidana Kejaksaan mempunyai tugas dan wewenang melakukan penyidikan terhadap tindak pidana tertentu berdasarkan undang-undang.

Pada dasarnya baik pihak kepolisian maupun kejaksaan memiliki dasar hukum teoritis dan praktik dalam melakukan penyidikan khususnya pada pembahasan kali ini, sebelum menjabarkan penjelasan mengenai wewenang tersebut berikut dasar hukum yang diberikan bagi penyidik tersebut :
A. Pihak Kepolisian :
1. Pasal 14 ayat (1) huruf a UU Nomor 2 Tahun 2002 Tentang Kepolisian Negara Republik Indonesia;
2. Keputusan Kapolri Nopol KEP/14/XII/93 dan Nopol Kep/15/XII/93 tanggal 13 Desember 1993 dan Tr. Dirserse Polri Nopol TR/211/IV/95 tanggal 21 April 1994;
3. Pasal 1 angka (1), (2), (3), (4), (5), Pasal 4 s.d 136 UU Nomor 8 Tahun 1981 Tentang Hukum Acara Pidana
4. Putusan Mahkamah Agung RI. No.5/K/Pid/1994 tanggal 24 Maret 1994.

B. Pihak Kejaksaan :
1. Pasal 26, 27, dan 39 UU Nomor 31 Tahun 1999 Jo. UU Nomor 20 Tahun 2001 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, Pasal 39 UU Nomor 30 Tahun 2002 Tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi;
2. Pasal 248 ayat (2) UU Nomor 8 Tahun 1981 Tentang Hukum Acara Pidana;
3. Pasal 30 ayat (1) huruf d UU Nomor 16 Tahun 2004 Tentang Kejaksaan,
4. Dll

Hal yang membedakan praktik di lapangan terkait dengan penyidikan pada tindak pidana korupsi ialah bahwa oleh kepolisian sebenarnya melalui ketentuan Pasal 41 UU Tipikor ditentukan bahwa adanya peran serta masyarakat untuk membantu pemberantasan tindak pidana korupsi, sehingga apabila seorang penyidik (kepolisian) menerima suatu laporan maupun pengaduan dari masyarakat hal tersebut akan ditindaklanjuti jika dalam hasil penyelidikan terdapat cukup bukti telah terjadi perkara tindak pidana korupsi, berdasarkan hal tersebut nantinya kepala Kepolisian Ressort setempat akan mengeluarkan Surat Perintah Penyidikan (Pasal 109 ayat (1) KUHAP) yang kemudian akan diberitahukan kepada Penuntut Umum, yang mana nanti dalam prosesnya menurut kelaziman praktik akan keluar bentuk formulir P-16 yang merupakan surat perintah penunjukan Jaksa Penuntut Umum yaitu untuk melakukan penelitian dalam perkara tersebut.
Kemudian untuk praktik oleh pihak kejaksaan modus operandi terungkapnya perkara korupsi dapat terjadi karena adanya inisiatif penyidik sendiri atau bisa juga karena mendapat laporan/informasi, dalam praktiknya laporan atau informasi ini dibuat dengan menggunakan bentuk P-1, dari hal tersebut kejaksaan kemudian mengeliminasi apabila laporan tersebut bersifat informasi maka ditangani seksi intelijen, dan jika sudah merupakan laporan tindak pidana maka akan langsung ditangani oleh seksi tindak pidana khusus.

Dari seluruh penjelasan di atas, pada akhirnya kita tahu bahwa cara dan taktik melakukan penyidikan tersebut pada prinsipnya identik dengan cara penanganan perkara pidana pada umumnya adapun hal yang membedakan hanyalah terletak pada inisitiatif daripada penyidik itu sendiri.