Jaminan adalah suatu benda dengan nilai ekonomis yang diberikan oleh Debitur kepada Kreditur untuk menjamin penyelesaian kewajiban si Debitur. Dalam hukum jaminan, dikenal adanya jaminan umum dan jaminan khusus. Jaminan umum adalah jaminan sebagaimana dapat dipahami berdasarkan Pasal 1131 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (KUHPer) yang berbunyi:

“Segala barang-barang bergerak dan tak bergerak milik debitur, baik yang sudah ada maupun yang akan ada, menjadi jaminan untuk perikatan-perikatan perorangan debitur itu.”

Sedangkan jaminan khusus adalah jaminan kebendaan yang mensyaratkan adanya agunan objek berupa harta bergerak maupun tidak bergerak. Jaminan khusus dibagi lagi menjadi 2 jenis, yaitu jaminan khusus karena ketentuan Undang-Undang dan jaminan khusus karena perjanjian. Artikel ini berfokus pada jenis jaminan khusus yang pertama, yang terdiri dari Hak Istimewa dan Hak Retensi.

Hak Istimewa atau Hak Privilege adalah hak yang didahulukan. Pasal 1134 KUHPer menyatakan sebagai berikut:

“Hak istimewa ialah suatu hak yang oleh undang-undang diberikan kepada seorang berpiutang sehingga tingkatnya lebih tinggi daripada orang yang berpiutang lainnya, semata-mata berdasarkan sifat piutangnya. Gadai dan hipotik adalah lebih tingg daripada hak istimewa, kecuali dalam hal-hal di mana oleh Undang-Undang ditentukan sebaliknya.”

Hak istimewa ini dapat dibedakan lagi menjadi hak privilege umum dan khusus. KUHPer dalam Pasal 1149 juga telah mengatur jenis-jenis piutang yang diistimewakan terhadap benda bergerak dan tidak bergerak pada umumnya, yaitu:

  1. Biaya perkara;
  2. Biaya penguburan;
  3. Biaya pengobatan terakhir dari Debitur yang meninggal dunia;
  4. Upah buruh dari tahun lampau dan apa yang masih harus dibayar untuk tahun berjalan
  5. Penyerahan bahan makanan bagi Debitur dan keluarganya selama 6 bulan terakhir;
  6. Tagihan sekolah asrama; dan
  7. Piutang anak belum dewasa atau berada di bawah pengampuan terhadap wali.

Dengan demikian, terhadap piutang-piutang di atas, diberlakukan hak istimewa Krediturnya untuk didahulukan.

Hak Retensi adalah hak yang diberikan kepada Kreditur tertentu, untuk menahan benda Debitur sampai tagihan yang berhubungan dengan benda tersebut dilunasi. Adapun dasar hukum Hak Retensi meliputi Pasal 575 ayat (2) KUHPer, Pasal 1576 KUHper, Pasal 1364 ayat (2) KUHPer, Pasal 1616 KUHPer, Pasal 1729 KUHPer, dan Pasal 1812 KUHPer.

Bedanya hak retensi dari hak lain ialah bahwa dalam hak retensi, benda yang ditahan oleh Kreditur itu bukan untuk dijual atau dilelang dan hasil penjualannya digunakan untuk melunasi utang Debitur. Namun Kreditur hanya menahan benda tersebut hingga utang Debitur kepadanya lunas. Hak menahan tersebut juga tidak termasuk hak untuk menggunakan atau memanfaati bendanya.

Salah satu contoh hak retensi yang sering ditemukan ialah hak retensi berdasarkan Pasal 1812 KUHPer yang berbunyi:

“Penerima kuasa berhak untuk menahan kepunyaan pemberi kuasa yang berada di tangannya hingga kepadanya dibayar lunas segala sesuatu yang dapat dituntutnya akibat pemberian kuasa.”

Contoh keadaan dimana hak retensi sebagaimana di atas berlaku ialah dalam hubungan antara advokat dengan klien. Advokat diberikan kuasa oleh klien untuk menjadi kuasa hukumnya, melakukan pembelaan dan hal-hal lain demi kepentingan hukum klien, dengan menerima upah. Jika kewajiban pembayaran tidak dipenuhi klien, maka advokat dapat menahan misalnya dokumen sertifikat atau lainnya milik klien hingga tagihannya lunas. Tentunya hal ini dengan tetap memperhatikan ketenuan Pasal 4 Angka 11 Kode Etik Profesi Advokat yang membolehkan hak retensi sepanjang tidak menimbulkan kepentingan kerugian klien.