Mengacu pada Pasal 1 Angka 26 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2009 Tentang Penerbangan (UU Penerbangan) serta Pasal 1 Angka 2 Peraturan Menteri Perhubungan Nomor 77 Tahun 2011 (Permenhub 77 Tahun 2011), yang dimaksud pengangkut adalah badan usaha angkutan udara niaga, pemegang izin kegiatan angkutan udara bukan niaga yang melakukan kegiatan angkutan udara niaga berdasarkan ketentuan undang-undang ini, dan/atau badan usaha selain badan usaha angkutan udara niaga yang membuat kontrak perjanjian angkutan udara niaga dalam hal ini adalah maskapai penerbangan. Penulis berpendapat ada 2 hal yang perlu disoroti menyangkut langkah apa yang dapat ditempuh lalu, apakah bagasi dinyatakan hilang atau dinyatakan terlambat.

Berdasarkan Pasal 2 Permenhub 77 Tahun 2011, pengangkut yang mengoperasikan pesawat udara wajib bertanggung jawab atas kerugian terhadap:

  1. penumpang yang meninggal dunia, cacat tetap atau luka-luka;
  2. hilang atau rusaknya bagasi kabin;
  3. hilang, musnah, atau rusaknya bagasi tercatat;
  4. hilang, musnah, atau rusaknya kargo;
  5. keterlambatan angkutan udara; dan
  6. kerugian yang diderita oleh pihak ketiga.

Lalu, bentuk tanggung jawab atas kerugian karena bagasi tercatat hilang, musnah, atau rusak, diatur dalam Pasal 144 UU Penerbangan menyatakan bahwa maskapai penerbangan wajib untuk mengganti kerugian yang diderita oleh penumpang yang diakibatkan oleh kegiatan angkutan udara selama bagasi tercatat berada dalam pengawasan pengangkut. Lalu apakah yang dimaksud dengan bagasi tercatat? Sesuai dengan Pasal 1 angka 24 UU Penerbangan yang dimaksud dengan bagasi tercatat adalah barang penumpang yang diserahkan oleh penumpang kepada pengangkut untuk diangkut dengan pesawat udara yang sama.

Jika bagasi tercatat kemudian dinyatakan hilang atau tidak ditemukan maka harus mengikuti ketentuan Pasal 174 ayat (3) UU Penerbangan yaitu setelah 14 hari sejak tanggal dan jam penumpang tiba ditempat tujuan. Bila telah dinyatakan hilang sesuai dengan ketentuan diatas, maka penumpang dapat melakukan klaim atas bagasi tercatat tersebut. Sehingga dapat diketahui bahwa bagasi tercatat yang hilang setelah lewat dari 14 hari, maka bagasi dianggap hilang dan barulah dapat melakukan klaim atas kehilangan tersebut, dengan catatan harus terlebih dahulu mengajukan klaim tidak diterimanya bagasi tercatat pada saat bagasi itu seharusnya diambil.

Untuk ganti kerugiannya, diatur dalam Pasal 5 ayat (1) Permenhub 77 Tahun 2021 yaitu:

  1. Kehilangan bagasi tercatat atau isi bagasi tercatat atau bagasi tercatat musnah diberikan ganti kerugian sebesar Rp 200 ribu/kg dan maksimal Rp 4 Juta/ penumpang; dan
  2. Kerusakan bagasi tercatat, diberikan ganti kerugian sesuai jenisnya bentuk, ukuran dan merk bagasi tercatat.

Kemudian, jika bagasi dinyatakan terlambat tapi masih dalam kurun waktu 14 hari mengetahui dan menemukan bahwa ternyata bagasi diangkut ke bandara tujuan lain, berarti klaim kehilangan tidak berlaku. Situasi ini dinamakan bagasi tercatat tersebut terlambat artinya, jangka waktu untuk menerima bagasi tersebut masih dalam jangka waktu 14 hari, namun memang tidak pada saat seharusnya tiba.

Atas hal tersebut, penumpang yang bagasinya hilang atau terlambat memiliki hak untuk mengajukan gugatan terhadap pengangkut atas bagasi tercatat tersebut pada pengadilan negeri di wilayah Indonesia dengan menggunakan hukum Indonesia. Hak menggugat dinyatakan kedaluwarsa dalam jangka waktu 2 tahun terhitung mulai tanggal seharusnya bagasi tercatat tiba di tempat tujuan. Dengan demikian, terhadap bagasi tercatat yang dinyatakan hilang, maka penumpang memiliki hak untuk menyelesaikan permasalahan tersebut melalui klaim kehilangan dan gugatan karena kehilangan. Sedangkan bagi penumpang yang bagasi tercatatnya terlambat, hanya dapat mengajukan gugatan karena terlambat.